CABARET CHAIRIL
LUAR/DALAM VOL.I
20-21 Mei 2019
Studio Teater Garasi
Jl. Jomegatan No.164B, Nitiprayan, Yogyakarta
Senin, 20 Mei 2019
20.00-20.30 WIB
Densiel Prismayanti Lebang (Jakarta)
INHIBITION
20.30-21.00 WIB
Pebri Irawan (Yogyakarta)
MEMBATAS
21.00 WIB
DISKUSI
Selasa, 21 Mei 2019
15.00 – 20.00 WIB
Alfiah Rahdini (Bandung)
ALFI’S HAIR CARVING
20.00-21.00 WIB
ON Project (Yogyakarta)
SETELAH KELAS TAMBAHAN
21.00 WIB
DISKUSI
—
Belakangan ini kita disibukkan dengan politik polarisasi yang mempengaruhi hubungan sosial kita. Mobilisasi massa berlangsung di ruang publik hingga menerobos ke ruang domestik. Orang-orang seperti cepat berubah, tergerak, teraktivasi di dalam keyakinan tertentu serta memproduksi ketegangan melalui batas-batas sosial yang tegas sekaligus rumit. Kerumitan ini terjadi karena polariasi tidak hanya berlangsung dalam ranah publik atau media sosial tapi juga di dalam ranah intim seperti pertemanan, keluarga, bahkan hubungan suami-istri.
Batas antara ‘luar’ dan ‘dalam’ membentuk dialektika divisi/pembagian. Hubungan antara keduanya memainkan peran mendasar dalam pemahaman kita tentang lingkungan tempat kita hidup. Tidak hanya sekadar menciptakan batas-batas ruang, tapi juga identitas sosial dan kolektif; kelas, etnis/ras, gender; pengetahuan, profesi; hingga identitas nasional.
Pertentangan yang terjadi antara dua hal yang berlawanan seperti tidak pernah hilang dan tidak pernah berhenti menciptakan ketegangan. Namun, meskipun saling bertentangan, baik yang di dalam maupun yang di luar saling bergantung satu sama lain. Tidak jarang kesalingbergantungan ini dapat merevisi dan mengaburkan batas-batas di dalam dan di luar. Masing-masing dari kita mengelola ketegangan dan oposisi ini dengan cara yang berbeda—dalam kehidupan sehari-hari, dalam membangun hubungan.
Melalui eksplorasi tema – hubungan Luar/Dalam Vol.1, Cabaret Chairil kali ini mengundang seniman yang memfokuskan diri pada kondisi “di perbatasan”. Melihat setiap dialektika relasi seperti keterhubungan, keterpisahan, redefinisi/revisi, transisi, deformasi dalam kelola seniman di dalam karyanya, yang seluruhnya berproses berdasarkan dari (versi) karya sebelumnya.
Inhibition, Densiel Prismayanti Lebang (Toraja-Jakarta). Objek yang digunakan dalam pertunjukan memiliki kecenderungan untuk tetap berjarak dari performer, digunakan sebagai properti tambahan, atau setelah dipikirkan. Densiel memulai ide karya ini dari hubungan tubuh dengan tali. Inhibition merupakan pengembangan dari karyanya No Limit yang dipentaskan November tahun lalu di Indonesian Dance Festival. Melalui karya ini, Densiel mencoba untuk menguak pengalaman tubuh di dalam budaya risiko yang muncul akibat tegangan antara ikatan dan pemisahan; tarikan dan penolakan; kementakan untuk menguasai dan dikuasai; rintangan dan kemudahan yang terjadi di dalam mobilitas tiga tubuh performer laki-laki, tiga utas tali yang kuat dan tubuh penonton – yang dapat saling melengkapi dan menemukan definisi melalui satu sama lain. Sifat dari tali dan simpul/kaitan menjadi katalis, dan dipercaya dapat menembus tubuh khalayak, melalui ingatan, rutinitas, sentuhan, penglihatan, asosiasi, dan nostalgia.
Membatas, Pebri Irawan (Riau-Yogyakarta). Presentasi karya Membatas di Cabaret Chairil menjadi ruang presentasi terkini – setelah di Festival Lima Gunung dan Paradance – bagi upaya Pebri memperdalam isu ‘batas’ atau ‘aturan’ dalam hidup bermasyarakat. Pebri mengawali prosesnya dengan memproduksi makna: mengenai pentingnya membuat batas atau kontrol diri di dalam kehidupan sosial berdasarkan kisah Ikan Terubuk. Kisah ini secara vernakular terdistribusi dan dikenal di masyarakat Bengkalis (Riau) sebagai kisah tentang seekor ikan terubuk (dari kerajaan air asin) yang berambisi mendapatkan/menguasai perhatian (cinta) ikan puyu-puyu (kerajaan air tawar). Terispirasi kisah ini, Pebri menilai pendirian batas menjadi penting, justru karena berfungsi menekan hasrat menguasai subjek lain. Maka usaha ‘membatasi ‘, dalam kepentingan ini, batas justru berfungsi ‘menghubungkan’ dalam relasi yang (diinginkan) setara, terutama untuk menegosiasi kualitas batas itu sendiri. Tesis tersebut kemudian menjadi tekanan dari versi Membatas kali ini. Pebri melakukan serangkaian perubahan yang prinsipil di dalam karyanya, terutama dalam memposisikan kostum, kualitas musik dan tubuh di dalam karyanya.
Alfi’s Hair Carving, Alfiah Rahdini (Bandung). Berlatar seniman patung, Alfi menawar kemungkinan dari konsep social sculpture untuk memperluas praktik dialog yang kerap dilakukan ketika berhadapan dengan material dalam proses pembuatan patung. Sebagai teknik yang mendasar dalam seni rupa tiga dimensi, carving (memahat) melibatkan penggunaan alat untuk membentuk sesuatu dengan memotong atau mengurangi bahan baku padat seperti batu, kayu, gading atau tulang. Menurut Alfi, teknik carving tidak hanya menuntut konsentrasi dan ketenangan, tapi juga artikulasi dari setiap keputusan di dalam dialog dengan bagian dan jarak yang ada karena perbedaan karakter di setiap bagian suatu material. Menawar social sculpture sebagai modus presentasi dan memproduksi peristiwa di dalam Alfi’s Hair Carving, Alfi berupaya untuk memperluas teknik carving dari masalah fisik (benda) ke masalah mental, psikis dan sangat mungkin spiritual. Selain dua subjek yang bertemu, bahan baku lainnya adalah cara berpikir, merasakan, memahami, berbicara dan mendengarkan satu sama lain di dalam jarak publik dan privat dari aktivitas cukur rambut.
Setelah Kelas Tambahan, Habiburrachman-ON Project (Yogyakarta). Karya ini merupakan pertumbuhan dari karya yang pernah dipresentasikan dengan judul Kelas Tambahan. Dengan mengapropriasi dramaturgi pelaksanaan ulangan di kelas (sekolah), dalam Kelas Tambahan, ON Project mencoba mengajak penonton merefleksikan dasar tindakan intoleransi yang muncul di Jogja. Tidak hanya mengapropriasi situasi ulangan atau test, ON Project juga menyusun soal-soal pilihan ganda yang terkait dengan peristiwa kekerasan fisik, simbolik dan ide yang secara faktual terjadi di Jogja. Soal pilihan ganda sampai saat ini masih dipakai karena dipercaya dapat mengukur tingkat pencapaian pendidikan dalam ruang lingkup yang luas dan beragam atau pada skala besar secara efektif. Begitu juga dalam penilaian atau kerja mengoreksi atas jawaban soal. Dengan menggunakan mesin maupun manual, pemeriksaan dan penilaian atas jawaban soal dapat disekor dengan mudah dan cepat. Kritik atas penggunaan bentuk soal pilihan ganda adalah adanya pembatasan bagi peserta didik dalam pengembangan ide-ide baru, kemampuan berbahasa, menampilkan berbagai pengetahuan yang dimilikinya, bahkan kreativitasnya. Di titik ini, setelah pengerjaan soal, dalam artian di dalam karya Setelah Kelas Tambagan, ON Project akan mengintervensi model penilaian soal pilihan ganda dengan membagikan lembaran soal yang sudah terisi kepada penonton Cabaret Chairil untuk dikoreksi atau dinilai tanpa pola standar penilaian yang baku. Setelah Kelas Tambahan mencoba menjadi lanskap dan sosiologi dari berlangsungnya proses identifikasi, merevisi dan menggeser batas-batas kewargaan atas peristiwa kekerasan yang terjadi di Jogja.