Jennifer Lindsay

Tanggal tua bulan September 2010 dan saya duduk di sanggar Mas Miroto di Yogya, ruang gladi Teater Garasi untuk pergelaran mereka Tubuh Ketiga. Inilah gladi utuh-sinambung terakhir sebelum pergelaran dibawa ke Jakarta. Kawan-kawan diundang nonton dan kemudian memberikan tanggapan. Yogya adalah tempat gladi Teater Garasi. Memang mereka masih berpentas di Yogya, tetapi hari-hari ini pergelaran mereka makin banyak digarap untuk Jakarta, tempatnya duit. Tubuh Ketiga ini pesanan Salihara di Jakarta, yang sekarang menjadi produser utama seni eksperimental di negeri ini.

Yogya adalah pengekspor utama teater dan pergelaran lain ke Jakarta. Para sutradara dan aktor mundar-mandir dengan penerbangan murah untuk bekerja dengan seniman-seniman lain di sana, dan mobilitas seniman kreatif ini meningkat secara kentara lima tahun terakhir. Di Yogya ada lingkungan pergaulan antarseniman yang merangsang, dan dukungan dari komunitas kreatif. Biaya hidup jauh lebih murah, tapi selagi kesenjangan antara Jakarta dan Yogya melebar, banyak kelompok memilih tidak berpentas di kota mereka sendiri karena hasil penjualan tiket tidak akan pernah menutup ongkos produksi, dan mencari sponsor menyita banyak waktu. Atau mereka berpentas untuk umum satu-dua kali di Yogya, yang pembiayaannya disokong dengan pergelaran di Jakarta. Di Yogya, pergelaran disiapkan dan dicoba disajikan, dan penonton lokal beruntung dapat menyaksikan pergelaran yang didanai dengan duit Jakarta. Untuk gladi akhir Tubuh Ketiga ini, penonton ada sekitar empat puluh orang, meliputi para seniman pergelaran dan seniman lain dari Yogya, para aktor muda, sejumlah mahasiswa dan akademisi, serta orang-orang yang mengikuti perkembangan karya mereka termasuk sejumput orang luar Indonesia seperti saya. Yogya ini, kata saya dalam hati selagi duduk di sanggar Miroto, untuk Garasi adalah ruang ‘antara’ dan di sinilah gagasan, citra dan inspirasi dari luar diolah-ulang untuk dibawa ke luar yang berbeda. Ke suatu tempat lain.

‘Tempat lain’ juga menjadi sesuatu yang mendasar dan tak terpisahkan dalam banyak karya Garasi. Dalam Tubuh Ketiga, tempat lain itu kota kecil di Jawa Barat — di situ yang-kota dan yang-desa bergesekan, di situ pekerja migran datang-pergi, di situ pergelaran tradisional berkutat sikut-sikutan berebut kedudukan dengan tarling (sebentuk musik hibrid yang semula menggunakan gitar dan suling), dangdut, ‘organ tunggal’, dan pelantang yang menggemborkan iklan; dan di situ segalanya berjingkrak dalam gelegar globalisme dan serbuan otoritarianisme Islamis. Semua orang dan segala sesuatu sedang bergerak.

Pergelaran Tubuh Ketiga Teater Garasi mengusung energi binal, gerak, dan aneka ingar-bingar Indramayu pascapanen ke panggung di Jakarta — ke ruang kecil tertutup di Salihara bulan Oktober 2010. Saya terbang ke Jakarta, sangat ingin menyaksikan pergelaran itu sesudah menonton gladi bersihnya di Yogya. Ingin saya alami pergelaran itu di tempat yang dikehendaki dan di hadapan penonton yang dikehendaki pula. Bagi saya Tubuh Ketiga (dengan anak judul Pada Perayaan-Perayaan yang Berada di Antara) dengan sangat jernih me[m/re]presentasikan jukstaposisi, pertabrakan dan persilangan berbagai era, nilai dan ‘budaya’ yang saya tangkap di Jawa (Jawa, bukan Indonesia, karena saya bicara tentang pengalaman saya sendiri yang sebagian terbesar di Jawa), dan performativitas yang kental dalam kehidupan sehari-hari yang entah bagaimana, dengan cara yang muskil saya nyatakan sejelas-jelasnya, tampak memudahkan orang dalam tawar-menawar mengenai berbagai tabrakan itu.

Kualitas performativitas itu dapat pula mempunyai sisi balik negatif mengerikan pada jenis pertabrakan yang lain — entengnya tindak kekerasan, yang tertangkap dengan cemerlang dalam film Oppenheimer ‘The Act of Killing’ tentang para pembunuh yang memperagakan-ulang peran mereka dalam huru-hara anti komunis tahun 1965-66. Meski film dokumenter Oppenheimer adalah tentang para jagal manusia di Medan, Sumatra Utara, mudahnya orang dimanipulasi untuk melakukan tindak kekerasan, dan enteng serta gampangnya para pelaku kekerasan itu mengambil jarak terhadap tindakan mereka, berlaku juga untuk Jawa. ‘Ruang antara’ itu bukanlah tempat yang putih bersih, inosen. Tetapi Tubuh Ketiga Teater Garasi tidak memusatkan perhatian pada sisi gelap ini.

Dari segi geografi dan budaya, Indramayu suatu tempat antara, yang mempertemukan Jawa Tengah, Jawa Barat dan Cirebon. Campur-campur secara kebahasaan dan kebudayaan, perkotaan dan pedesaan, Indramayu juga cukup dekat dengan kota-kota besar Bandung dan Jakarta. Selama April 2010, anggota-anggota Garasi pergi ke sana dalam kurun-kurun pendek, menghadiri aneka perayaan setempat yang dilaksanakan seturut musim ketika penduduk sedang punya uang, dan cuaca sedang cerah; berbincang dengan para pelaku pergelaran, berjalan-jalan dan menyerap suasana tempat tersebut. Pergelaran yang mereka gagas dari pengalaman ini merupakan sulingan suara-suara, bebunyian dan citra yang mereka serap.

Pergelaran satu jam itu terdiri atas serangkaian pergelaran berlapis-lapis yang berawal sebelum penonton masuk ke gedung teater. Jalan masuk dihias dengan rumbai-rumbai janur laiknya di perhelatan perkawinan. ‘Para tamu’ yang datang diberi cinderamata, mengisi buku tamu, dan berjalan melewati para penerima tamu yang berdiri berjajar. Selepas ambang pintu masuk itu, kami berada di tengah-tengah pesta perkawinan desa di Indramayu; melalui perangkat pelantang yang jelek, seorang pewara berbicara mengarahkan para tamu; pelaminan, dihiasi kilapan lampu kilat; dan di sudut, dengan kilapan lampu kilat lebih banyak, seorang pemain gitar dan seorang pemain kibor elektrik memainkan Für Elise dalam versi rancak.

Tetapi pembingkaian konseptual pun sudah tampak jelas sejak awal. Di atas pelaminan terpampang tanda, adaptasi kecil-kecilan dari ‘Selamat Menempuh Hidup Baru’ yang lazim terlihat di resepsi perkawinan. Kali ini ada tambahan ‘di era globalisasi’. Dan kursi pelaminan itu kosong. Pusat dan inti perayaan perkawinan mangkir.

Ini kegaduhan yang tidak asing, menyenangkan, tapi lepas dari pembingkaian yang kentara oleh Garasi, kami sekurang-kurangnya berjarak setingkat dari itu — jarak kelas. Orang kota Jakarta yang relatif kaya, yang menjadi penonton, mungkin saja menghadiri resepsi perkawinan seperti ini — barangkali perkawinan supir, pembantu rumah atau pesuruh kantor mereka; perayaan perkawinan mereka sendiri, atau anak atau bahkan teman-teman mereka tentu tidak seperti ini. Ini adalah peristiwa yang mungkin mereka ambil bagian sesekali — sebagai tamu, dan tamu berstatus tinggi pula. Sedang bagi saya, jika saya menghadiri perhelatan demikian (mungkin diajak oleh kawan karena saya kebetulan berada di tempat yang bersangkutan, belum tentu karena hubungan saya dengan keluarga mempelai perempuan atau laki-laki), selaku orang asing saya akan secara otomatis kebagian peran sebagai tamu berstatus sangat tinggi — peran yang kemudian harus saya mainkan dengan baik dan anggun, entah suka entah tidak.

Pembukaan Tubuh Ketiga mengarahkan perhatian kepada cara pergelaran teater membentuk rasa/kesadaran komunitas, kepenontonan yang sadar diri. Kami adalah, dan bukan, tamu. Kami sedang, dan tidak sedang, berada di perhelatan perkawinan bersama-sama. Dalam ruang inilah kami kini termasuk dan ambil bagian (merasa ‘pada tempatnya’). Kami merasa pada tempatnya karena bersama-sama kami sadar bahwa kami tidak sepenuhnya ‘pada tempatnya’. Kami berada di ruang antara, di ambang. Kami dipertautkan melalui dan dalam kesadaran kami tentang keantaraan itu. Dalam jarak yang menyenangkan. Tetapi di sini di perhelatan perkawinan yang dua kali mengalami penjarakan apakah saya selaku orang asing barangkali lebih menyadari pembentukan komunitas dalam pergelaran ini ya? Lagi pula, bukan sembarang orang asing, sebagai orang asing di ruang antara, yang akrab dengan tanda-tanda itu. Sekiranya saya tidak dapat membaca tanda-tanda itu? Sekiranya saya tidak kenal baik kode-kode itu? Akankah saya menangkap perayaan perkawinan ini sebagai peristiwa yang dipergelarkan ulang? Di mana dan bagaimanakah orang mengenali yang-pergelaran? Saya bertanya-tanya. Pra-pengalaman macam apakah yang diperlukan? Dan bagaimanakah pengenalan itu menjadikan orang lebih menyadari main-perannya sendiri, misalnya memainkan peran si orang asing?

Tak ada waktu buat merenung. Ada interupsi. Boneka Telly Tubby berukuran sebenarnya, merah menyala, mendorong sampan yang memuat pelantang yang menggeberkan kebisingan elektronis menyibak penonton. Ini adalah yang pertama dari banyak interupsi demikian di sepanjang pergelaran — jukstaposisi ‘globalisasi’. Segalanya serentak dan seketika. Mereka yang termasuk penonton harus mengubah sudut pandang secara fisik.

Sekarang layar di belakang pelaminan disibakkan maka muncul pertunjukan lain lagi pada jenjang yang berbeda pula. Di belakang layar pesta perkawinan itu ada backdrop (kelir) yang tergambar dengan rumit pada tiga sisi dinding — semacam kelir yang digunakan di teater tradisional seperti ketoprak. Di sana terpampang dalam warna-warni cerah, sawah di musim panen. Realistis seturut langgam konvensional dalam teater. Realitas yang diidealisasikan. Bersih. Semacam distorsi waktu. Lalu tertangkaplah bahwa pada dinding yang satu, tergambar pabrik di dalam pemandangan yang eksotis itu, dan di sudut lain tampak kapal penumpang yang besar. Semuanya ini digabungkan ke dalam gambar stilisasi yang lazim dikenal itu, tak lebih dan tak kurang eksotis dari sawah keemasan. Agak mirip lukisan kaca yang dikenal di Jawa, yang di situ pesawat terbang dan aneka makhluk dongeng ditaruh saja berdampingan.

Pergelaran bergulir lebih ke arah mendongeng, dengan para perempuan memainkan peran utama, selaku narator maupun aktor dalam banyak kisah yang disajikan. Perempuanlah yang pergi jauh meninggalkan desa untuk mencari uang di kota-kota besar sebagai pelaku pergelaran, atau ke mancanegara sebagai pekerja migran, meninggalkan keluarga mereka di tanah air. Dan sementara suara-suara yang bernarasi menggambarkannya sebagai penerimaan yang pasrah-mengalah terhadap fakta bahwa cara-cara lama — seperti memanen padi — tidak mendatangkan uang cukup, para perempuan itu sendiri lalu memergoki diri mereka sebagai para pelaksana yang penuh kuasa bagi tubuh serta kehidupan mereka.

Sepanjang seluruh pergelaran bahasa dan gerak mengalir antara orang pertama dan orang ketiga. Antara berbicara tentang dan berperan sebagai. Antara menjadi diri sendiri dan menjadi seseorang lain. Para aktor pun menghampiri pergelaran dari tempat-tempat berbeda. Wangi Indriya, penari topeng dan penyanyi dari Indramayu, bintang tamu dalam pergelaran Garasi Tubuh Ketiga ini, menghampiri pergelaran ini dari arah yang berlawanan dengan para aktor Garasi — yaitu sebagai seniman ‘tradisional’ profesional yang kini mengadaptasi pergelarannya ke dalam gaya teatrikal Garasi. Si pemain gitar, Rasmadi, juga berasal dari Indramayu dan di sana ia penyaji ‘tarling dangdut’. Aktor lain, Hanny Herlina, berada di antara Wangi Indriya dan aktor-aktor Garasi. Dia Sunda, murid Ibu Wangi, dan belajar di institut kesenian (IKJ) di Jakarta.

Dan satu vinyet berganti vinyet berikut, pindah-pindah antara gerak wajar dan gerak stilisasi; antara ujaran, lagu, narasi, dan narasi stilisasi berupa puisi Indonesia. Kerja panen berubah menjadi aneka permainan (game); aneka permainan menjadi gerak stilisasi. Wangi menyanyikan sebuah lagu tarling diiringi oleh Rasmadi.

Lalu tiba-tiba interupsi lagi. Berkarung-karung benda — botol plastik dan sejenisnya — berjatuhan dari langit-langit. Tampak seperti sampah. Tetapi, seperti karung-karung dalam adegan panen yang adalah hasil daur ulang karung gula impor dari Thailand, ada benda-benda yang bisa digunakan di sini. Wangi menemukan sepatu tumit tinggi dan semacam topeng Darth-Vader dari plastik dengan rumbai terpasang seperti kostum tari topeng Cirebon. Semuanya saling kait, gathuk, dalam kombinasi baru.

Perhatian disentak ke arah lain. Seorang aktor di perahu kuning yang didorong Telly Tubby muncul di belakang penonton. Kami harus pindah tempat. Aktor perempuan ini bicara langsung kepada penonton dalam bahasa Indonesia puitis, menceritakan suasana perayaan di musim panen, dan nasib malang para pekerja migran yang bertolak mencari pekerjaan di Arab Saudi. Belakangan saya ketahui, ini adalah sajak tulisan aktor Garasi Gunawan Maryanto. Seorang aktor memotret diri sendiri dalam pose-pose sexy dengan HP-nya. Seorang penyanyi merias wajah dan ini diperlihatkan secara bersamaan pada sebuah layar video. Ulang-alik antara aksi dan representasi usailah. Kemudian para aktor menyanyikan lagu Bjork ‘It’s Not Up to You’. Saya gagal menjelaskan pada diri sendiri apa ini.

Seorang penari ronggeng berjoged, bergerak berpindah-pindah di antara hadirin. Ia dihujani uang. Narasinya melankoli — disampaikan oleh suara pria yang menanti-nantikannya. Di jalan yang sibuk seorang lelaki menantikan kepulangan si penari ronggeng dari kota.

Kira-kira ketika pergelaran sampai di titik inilah, saya mulai menyusun tafsir saya sendiri atas guyuran citra dan bunyi yang beruntun itu. Saya ciptakan sendiri perkaitan-perkaitan dari segala sesuatu yang dijatuhkan ke saya. Merakit segala sesuatu dan memungut arti-arti yang saya buat sendiri. Vinyet itu sekarang gerak — para aktor yang berjalan dan berpapasan serta bertegur-sapa dengan angguk kepala, dan membuat gestur sopan santun ketika melintas di depan orang lain, membungkuk kecil dengan tangan ngapurancang. Gerak itu semula cukup wajar tetapi cepat berubah menjadi semacam tarian dengan stilisasi. Inilah gerak dan gestur yang saya kenal baik di Jawa dan saya terkadang harus mengekang diri tak melakukannya pada kesempatan-kesempatan yang tidak tepat untuk itu (misalnya di Jakarta, atau lebih parah lagi, di luar Indonesia). Saya menghubungkannya lagi dengan perayaan perkawinan pada awal pergelaran, berpikir tentang upacara, gestur dan perilaku santun yang terbiasakan. Dan lagi-lagi saya terpikir tentang menjadi orang asing — tentang keharusan mempelajari kode-kode dan menggunakannya secara sadar diri — dan bertanya-tanya kapankah tindakan-tindakan, gerak atau ujaran menjadi tertanam kokoh, tak lagi dilakukan sepenuh kesadaran.

Tarian ‘uluk salam’ itu, demikian saya namakan, mengungkapkan secara singkat tapi padat apa yang saya rasakan dengan kuat di Indonesia — performativitas kehidupan sehari-hari. Saya membayangkan kaitan-kaitan. Terpikir oleh saya buku hebat Ward Keeler tentang wayang kulit Jawa (Javanese Shadow Plays, Javanese Selves) — yang ditulis dalam dan tentang masa yang berbeda — tetapi tukar pikirannya dengan para dalang dan cerapannya yang tajam dan jitu tentang pengasuhan anak di suatu desa dekat Klaten pada kurun 1970-an tampak menangkap kaitan yang rasanya masih berlaku antara penanaman kesadaran-diri sosial dalam diri kanak-kanak dan pergelaran wayang. Itu ialah kesadaran tentang lapisan diri yang ditampilkan. Keeler menunjukkan bagaimana kesadaran itu berkembang sangat dini, dengan hubungan keluarga dan pembelajaran bahasa — karena dalam kurun 1970-an penggunaan bahasa Jawa yang bertingkat-tingkat di rumah masih lazim, berbeda dengan sekarang. Di usia sangat muda kanak-kanak belajar untuk menjadi sadar diri tentang bicara mereka dan menyadari cara mereka membawakan diri dalam situasi dan terhadap orang yang berbeda-beda. Zaman telah berubah. Hubungan-hubungan keluarga dan bahasa berubah sudah. Kita memang berada dalam ‘era globalisasi’ namun kode-kode sosial tetap masih kuat. Banyak bentuk teater di Jawa sekarang ini (dan di televisi Indonesia) bermain-main dengan keteramalan (ketertebakan) dan kesadaran diri seputar perilaku sosial santun yang terbiasakan. Di situlah komedi berakar.

Akan tetapi komedi biasanya adalah tentang diterjangnya kode-kode secara sengaja, atau memperlihatkan orang yang ‘menghidupkan’ dan ‘mematikan’ kode-kode, atau secara tak sengaja menggunakan kode yang keliru di waktu atau tempat yang salah. Pergelaran Tubuh Ketiga ini bukan komedi. Ada banyak momen komik dalam pergelaran, tapi bagi saya Tubuh Ketiga ini mempertontonkan ruang yang dimungkinkan oleh performativitas — ruang pengamatan diri sendiri — alih-alih menggunakan ruang itu untuk komedi. Yang dipertunjukkan adalah bagaimana ruang tersebut meresapi tawar-menawar yang sulit tentang kehidupan ‘dalam era globalisasi’. Atau begitulah bagi saya, sekurangnya.

Pengalaman pekerja migran itu, misalnya. Inilah sisi buram globalisasi — ekspor pekerja. Narasi dalam Tubuh Ketiga mengabarkan kepada kita keputusan sulit yang diambil para perempuan Indramayu untuk meninggalkan keluarga. Tentang bagaimana mereka menjadi pekerja migran sebagai cara terakhir memperbaiki kehidupan anak-anak mereka. Diceritakan tentang para perempuan yang bekerja di Arab Saudi dan pulang kampung lima tahun sekali — saatnya membiayai perayaan keluarga lagi, membangun rumah impian, dan menebar duit ke keluarga.

Dan ada penggambaran visual yang brilian tentang ini: para perempuan membawa uang itu, impian mereka, dan pengorbanan yang mereka lakukan untuk memperoleh itu semua. Uang menghambur dari langit-langit. Tiga aktor perempuan itu mengumpulkan lembar-lembar uang itu dan disusun menjadi bentuk-bentuk — seorang melekat-lekatkan lembaran uang pada dinding membentuk garis luar sebuah rumah. Yang dua lainnya menyusun garis luar sebuah ranjang, lalu seorang dari mereka berbaring di situ. Lututnya terjulang. Perempuan yang lebih tua meluruskan kaki itu. Dirapikan kembali di dalam bingkai ranjang lembaran uang. Lalu sepasang laki-perempuan menari. Bersama, dan kemudian sendiri-sendiri. Pertemuan kembali dan perpisahan. Perpisahan dan pertemuan kembali. Gerak melankoli.

Ini berangsur menjelma gerak silat dengan stilisasi — dan penari-penari lain muncul mengambil alih. Sekarang perayaan lain lagi. Ada narasi lagi, menceritakan perempuan yang baru saja pulang dari Arab Saudi. Aktornya berbicara kepada penonton tentang dirinya sebagai orang ketiga — mengenai bagaimana ia telah lima tahun bekerja mengumpulkan uang untuk hajatan khitan anaknya ini. Narasi ini mempersatukan penonton lagi sebagai suatu kelompok selagi kami mendengarkan kisahnya. Sepanjang seluruh pergelaran, kami selalu diputar-putarkan — secara fisik di dalam ruang Salihara, dan juga harus menggeser-geser titik pandang kami. Kami dihela masuk dan keluar ke dan dari pergelaran yang berlapis-lapis ini, tiap kali harus mundur untuk melihat segalanya sebagai sebuah keutuhan. Seperti sekarang. Saya jadi ingat pengalaman saya menonton pergelaran wayang kulit Jawa, dan bagaimana narasi sang dalang mampu melakukan hal tersebut — mengambil jeda, mundur ambil jarak dan menceritakan pemandangan luas, baru kemudian menyusutkan jarak pandang dan masuk lagi ke tindakan yang sedang berlangsung. Ini bisa menjadi perjalanan yang menakjubkan dan menayang.

Dan kemudian interupsi lagi. Pengambilan jarak masih terus, lebih jauh lagi. ‘MC’ perayaan perkawinan itu sekarang melangkah ke tengah panggung dan menghentikan pertunjukan silat untuk menyampaikan pengumuman. Para aktor merubung dan mendengarkan juga. ‘Maaf, menyela pertunjukan, bapak-ibu sekalian, ada beberapa pengumuman penting. Mohon … (MC menyebut nama seseorang yang terkenal yang ada di antara penonton) ke parkiran mobil karena ditunggu pacarnya. Dan dimohon pengemudi mobil dengan plat nomor xxxx memindahkan mobilnya karena menghalangi jalan keluar’.) Setelah sepersekian detik menimbang-nimbang (apakah ini beneran?) penonton ketawa menggelegar. Jarak pandang kami jauhkan, terhela masuk ke suasana riang jenaka. Kami bersama para aktor lagi di sini dan kini di dalam ruang ini.

Dan kemudian, setiba-tiba itu pula, kami kembali lagi dalam pergelaran lain itu. Kami adalah para tamu dalam pesta si pekerja migran yang pulang kampung untuk khitanan anaknya. Ada orkes tarling-dangdut dan penari di pelaminan dengan lampu-lampu kilat. ‘Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh!’ penyanyi dangdut sexy itu memekik, berpusing-pusing sepanjang waktu dalam rok pendeknya yang kemerlap dan bersepatu boot koboi. Beberapa orang di antara penonton mulai berjoget. Penyanyi itu berjalan kian-kemari untuk berjoget dengan penonton. Kami semua sudah terbiasa dengan ini. Semacam paduan perayaan edan-edanan erotikisme dan kesalehan.

Akan tetapi keriangan ini diputus. Ada sisi melankoli di sini. Di suatu sudut lain, di antara hadirin muncul Telly Tubby mendorong perahu mengangkut Wangi yang bernyanyi. Ini membelah ruang dalam arti harfiah. Dan para aktor lain melamban ke dalam gerak stilisasi dan satu persatu rubuh. Kedua suasana hati yang kontras ini nyaris bertabrakan. Prosesi riang-gembira dan gaduh mengarak tandu si anak yang dikhitankan melanda masuk dan memutus nyanyian melankoli serta musik elektronis, dan terdengar pula suara ketiga menyampaikan komentar. Narasi ini berupa komentar — tidak bercerita tentang seorang tokoh atau episode yang digelar melainkan melangkah mundur untuk mengomentari adegan sebagai sebuah keseluruhan. Saya hanya menangkap kata-kata ‘tak ada lagi yang tunggal’. Belakangan saya tahu bahwa itu adalah teks tentang ‘dunia rizoma’, yang ditulis oleh sang sutradara Yudi Ahmad Tajudin. Tentang bagaimana orang sekarang saling terhubung, bagaikan rizoma di bawah permukaan bumi, bermunculan serempak di berbagai tempat. Tetapi pada saat pergelaran itu teks tersebut sulit saya cerna. Mustahil bagi saya memusatkan perhatian. Demikian banyak hal terjadi serempak. Segala sesuatu bermunculan di mana-mana.

Lalu — sebuah interupsi yang menghentikan segalanya. Pelantang-pelantang dari masjid. Sekian pelantang muncul di atas, di wilayah tengah panggung. Bahana baur yang distilisasi seperti azan dari banyak masjid berteriak keras-keras secara bersamaan. Dan panggung menjadi gelap. Kemudian sunyi. Sunyi sekali.

Namun itu belum tamat bagi kami. Para aktor menyibakkan kelir bergambar itu. Mereka melukar busana, berganti ke pakaian sehari-hari. Dan kedengaran suara-suara dalam keremangan. Rekaman suara dua orang. Saya kenali suara itu; suara dua warga Garasi, Yudi sang sutradara dan Ugoran Prasad anggota tim dramaturgi pementasan ini. Mereka berdiskusi teoretis membahas hibriditas dan identitas kultural. Kami penonton ditarik mundur makin jauh lagi sekarang, ke dalam bingkai yang di luar segala sesuatu di ruang itu. Belakangan saya ketahui bahwa diskusi itu sebenarnya versi tertulis dari pembicaraan lewat surel antara Yudi dan Ugo ketika pergelaran berada dalam tahap konseptualisasi.

Mereka bicara tentang hibriditas dan sinkretisme sebagai pemberdayaan kebudayaan — dan bahasa Indonesia mereka bertabur peristilahan bahasa Inggris. Ujaran mereka berada di antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, suatu pen-teori-an yang berlangsung di antara dua bahasa. Mereka omong-omong tentang keterbukaan terhadap perubahan yang terdapat di tempat-tempat seperti Indramayu, dan jenis ‘kosmopolitanisme’ budaya marginal pesisiran sebagai representasinya. Mereka memikir-mikirkan apakah keterbukaan terhadap perubahan itu sesuatu yang ‘strategis’ atau ‘inheren’. Lalu ada komentar, ‘kita tidak se-empowered itu’. Siapakah ‘kita’ di sini, saya bertanya-tanya. ‘Kita’ orang Indonesia yang non-budaya marginal pesisiran? ‘Kita’ yang memandang hal ini dari jarak teoretis tertentu? ‘Kita’ hadirin yang nonton? Dan sang ‘kita’ ini kelihatannya terus saja bergeser-geser. Diskusi berjalan terus sampai ke soal perwujudan keprihatinan di masa lampau di Indonesia tentang arah ‘kebudayaan kita’, yang sekarang saya pahami sebagai berarti ‘budaya Indonesia’, dan menyebut-nyebut polemik tahun 1940an mengenai identitas kultural, dan globalisasi dalam suatu konteks kesejarahan berbeda. Ini lalu dibanding-bandingkan dengan situasi mutakhir, dan penyempitan politik identitas dan identifikasi yang dibuat dalam kaitan dengan negara dan umat.

Dan sekarang sang ‘kita’ agaknya masih meluas lebih jauh. ‘Dan ini tidak hanya Indonesia’, kata suara itu, ‘Ini terjadi pada kita semua.’

Terang — dan para aktor membungkuk kepada hadirin.

Saya berjalan keluar dari gedung pertunjukan dan ngobrol dengan kawan-kawan lama. Ada kehangatan dan kemeriahan menanggapi pergelaran itu, tapi saya bertanya-tanya sendiri bagaimana ya orang-orang lain memperkaitkan diri dengannya. Saya merasa seperti baru saja berada dalam labirin yang dalam dengan pintu-pintu membuka — dari gelaran satu ke gelaran berikut.

Di Yogya beberapa pekan kemudian saya mengobrol dengan Yudi. Saya katakan padanya betapa saya menemukan bahwa Tubuh Ketiga menangkap kaitan antara performativitas sehari-hari, teater lokal, dan keterbukaan terhadap perubahan. Yudi bicara tentang Homi Bhaba. Saya tidak gemar teori budaya, dan saya pikir bahasa Homi Bhaba pretensius, ‘sok’ dan muskil, tetapi untuk menulis esai ini saya mengalah dan membaca apa yang dia bilang tentang ‘Ruang Ketiga’. Dan saya temukan, paparannya tentang celah-celah kecil antara budaya-budaya yang berbenturan, ruang ambang (liminal) ‘yang menimbulkan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang baru dan tak bisa dikenali, suatu wilayah baru dari negosiasi arti dan representasi’, membantu menjelaskan reaksi saya sendiri terhadap ‘Tubuh Ketiga’. Pergelaran itu menjadikan saya sangat sadar tentang kepenontonan saya — terhadap apa yang waktu itu sedang terjadi di panggung, tetapi juga terhadap status keantaraan saya selaku ‘orang luar yang di dalam’ atau ‘orang dalam yang di luar’, pengamat asing atau ‘seseorang liyan’ yang tinggal di Jawa.

Karena menjadi seorang asing jelas adalah negosiasi arti/makna, kondisi berada di suatu tempat yang di situ orang merasa kerasan sekaligus tak kerasan. Orang bisa lebih atau kurang menyadarinya. Ini dapat dieksploitasi. Orang dapat menderita karenanya. Tapi itu bisa pula menawarkan rangsangan kreatif berupa jarak. Kami belajar menampilkan diri dengan cara yang benar dan membuat pilihan-pilihan seputar perbuatan demikian, tetapi kami orang luar. Menjadi seorang asing pastilah merupakan salah satu dari keadaan keorangluaran yang paling sadar-diri. Meskipun semakin lama orang tinggal di suatu tempat, semakin ia lupa akan hal ini. Atau mungkin malahan sebaliknya. Orang jadi makin sadar.

Akan tetapi keorangasingan yang mencolok itu hanyalah satu titik tempat di kisi-kisi. Karena terjadinya ‘tabrakan’ budaya, adanya ruang ambang atau negosiasi, pertama-tama mempradugakan adanya rasa dan kesadaran ke-liyan-an. Maka pertanyaan yang menarik adalah kapan, dan bagaimanakah, kesadaran jarak berawal. Hentakan kesadaran tentang menatap diri, tentang menampilkan, mempergelarkan, diri sendiri.

Dalam masa kanak tentu, seperti yang dipaparkan Keeler tentang Jawa. ‘Budaya-budaya’ berbeda — dan generasi-generasi yang berlainan — menanganinya dengan cara berbeda-beda. Tetapi sekali sudah tertanam, bagaimanakah kesadaran ini dikembangkan — kesadaran tentang kepenontonan yang sadar-diri ini? Bentuk-bentuk teater yang mengusik penonton dengan menariknya masuk-keluar pergelaran rupanya menumbuh-kembangkan kesadaran ‘wawas-diri’ dalam main peran (role playing). Dan teater yang seperti itu berkait erat dengan main-peran sosialnya upacara. Pergelaran Tubuh Ketiga mengungkapkan hal ini dengan jitu.

Itu juga memunculkan pertanyaan ini: apa yang terjadi ketika sesuatu dibawa ke tempat lain? Apa terjadi ketika orang pergi jauh — ke Arab Saudi selaku pekerja migran, misalnya, dan kembali lima tahun kemudian untuk menengok anak-anaknya? Rasa antara jadi bagian dan terasing — kerasan sekaligus tak kerasan — seperti apakah yang dialami? Apa yang terjadi ketika pergelaran tradisional dari Indramayu diusung dan diletakkan dalam pergelaran Indonesia kontemporer? Apa yang terjadi ketika pergelaran atau upacara yang diciptakan untuk sesuatu tempat dibawa ke tempat lain? Apa yang terjadi ketika pelaku pergelaran berteori-teori tentang apa yang dikerjakannya?

Tema Tubuh Ketiga yang dinyatakan dengan terus-terang ialah hibriditas dan globalisasi, tetapi perhatian diarahkan pada Ruang Ketiga pengamatan, wawas diri (self-reflexiveness) dan performativitas. Pergelaran ini berakhir dengan nada bimbang, begitulah lihatan saya. Di manakah sang ‘kita’? Di manakah para aktor Garasi menempatkan diri dalam hubungan dengan orang-orang Indramayu? Di manakah para peneori itu menempatkan diri dalam kaitan dengan para aktor di panggung, dan dengan penonton? Di mana dan apa itu ‘Indonesia’?

Untuk menulis ini saya meminjam keping DVD rekaman Tubuh Ketiga dari Garasi untuk menggugah ingatan saya tentang pergelaran itu. Di sanalah saya, di antara khalayak penonton. Perasaan yang ganjil dan mengerikan. Menonton diri sedang nonton diri saya sendiri sedang nonton.