“To Belong/Suwung”, October 3-5, 2014 at Aoyama Round Theatre, Shibuya

Any one in Tokyo this week? Meet Yudi Ahmad Tajudin in this dance-theatre performance “To Belong/Suwung”, October 3-5, 2014 at Aoyama Round Theatre, Shibuya.
This collaborative performance is part of Dance New Air festival.
Choreography, Direction and Performance: Akiko Kitamura
Dramaturge, Direction and Performance: Yudi Ahmad Tajudin
Performance: Endah Laras, Rianto Dewandaru Otnair, Kana Ote, Yuki Nishiyamai, Llon Kawai, and Luluk Ari
Video Direction and Production: Akihiko Kaneko
Dramaturge and Video Production: Saki Yamada
Music Direction: Yasuhiro Morinaga
For more information, please contact Marie Takimoto +81 90-2626-6954
IMG_4122
IMG_4123

ART PROJECT: JALAN EMAS (The Game) 28–29 September 2014

Media Release
Teater Garasi/Garasi Performance Institute

ART PROJECT: JALAN EMAS (The Game)
28–29 September 2014
Pukul 19.00 WIB
Di SaRanG Building
Kalipakis 05/II, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, Yogyakarta

imagebam.com

TEMA

Jalan Emas adalah sebuah pertunjukan kontemporer berbasis musik. Pertunjukan ini berangkat dari kegelisahan atas maraknya bisnis yang mengkomersialkan harapan beserta fenomena irasionalitas yang menyertainya. Harapan dalam hal ini adalah kesuksesan finansial, kemapanan dan sejenisnya. Mulai dari motivator dengan segala jenis dagangannya (buku, seminar, sekolah, umroh, dsb), multi level marketing, bisnis investasi yang menjanjikan kekayaan cepat, hingga praktek pesugihan.

Iming-iming kekayaan tersebut biasanya meminjam berbagai ideologi yang hidup di tengah masyarakat (agama, norma, etika, dsb) agar orang-orang dapat dengan mudah menerima, percaya, dan membenarkan segala tindakan dan aktifitas mereka. Kenyataannya, segala utopia tentang kemapanan tersebut tidak selalu berakhir indah dan tak jarang menuai perkara: investasi bodong, penipuan MLM, penggelapan, dsb, baik itu pidana maupun etika.

Kegelisahan kami berlanjut pada asumsi-asumsi yang mengkonstruksi dan dikonstruksi oleh financial dream. Apa yang menggerakkan dan digerakkan oleh bisnis harapan, media, konsumerisme, tuntutan gaya hidup, dan bahkan para caleg dan partai politik peserta Pemilu. Kenyataan ini seperti menghadapkan kita pada terjadinya konversi nilai kesuksesan dan kebahagiaan dengan uang dan materi. Asumsi tersebut bahkan dipertegas oleh survei BPS tahun 2013 lalu yang menyebutkan bahwa kebahagiaan orang Indonesia ditentukan oleh kepuasan terhadap pendapatan finansial.

Utopia kesuksesan finansial ini menjadi masalah ketika hasrat untuk meraihnya menggiring kita pada irasionalitas, sebuah kondisi di mana nalar kritis dan hal lainnya dikesampingkan. Bagaimana ia mempengaruhi nilai-nilai kehidupan dan kemanusiaan merupakan satu hal yang patut dipertanyakan.

Impian manusia atas kesuksesan finansial atau kemapanan merupakan salah satu impian manusia yang ada sejak lama. Jalan Emas berfokus pada era after millenia, atau di saat perkembangan media dan percepatannya telah sedemikian kompleksnya.

BENTUK PERTUNJUKAN

Pertunjukan Jalan Emas (The Game) merupakan pertunjukan multi disiplin yang mencakup pertunjukan musik, soundscape, site specific, teater tari, performance art dan visual art.

Pertunjukan ini menggunakan pendekatan Immersive Theater atau Participatory yang membutuhkan keterlibatan penonton secara langsung. Pendekatan tersebut digunakan dalam rangka melibatkan penonton di dalam sebuah game atau tata cara tertentu, yang membuat mereka berada di dalam sebuah pengalaman ritual demi mencapai kesuksesan finansial (secara fiktif). Tujuan ini dimaksudkan untuk dapat lebih mudah menyampaikan ide-ide dari proyek ini, yang mungkin akan sangat terbatas untuk dapat disampaikan dalam format panggung konvensional.

PERSYARATAN MENGIKUTI PERTUNJUKAN

1. Penonton yang hendak mengikuti pertunjukan ini diwajibkan mendaftar terlebih dahulu sebelum tanggal 27 September 2014. Pendaftaran gratis dan tempat terbatas untuk 48 orang di setiap hari pertunjukan.
2. Pendaftaran dapat dilakukan di:
• Teater Garasi, Jl. Bugisan Selatan 36 A Yogyakarta pada hari kerja Senin-Jumat pukul 09.00-16.00 WIB. Atau melalui telepon (0274) 415844
• Menghubungi Lusi di +62 878-3929-8113
• Melalui email ke lusi@teatergarasi.org
3. Setelah mendaftar, penonton akan mendapatkan informasi dan peta lokasi pertunjukan melalui email
4. Karena struktur dan watak pertunjukan, penonton yang terlambat (meskipun sudah mendaftar) tidak dapat mengikuti pertunjukan
5. Anak kecil (di bawah 13 tahun), penderita penyakit jantung dan epilepsi tidak diperkenankan mengikuti pertunjukan ini
6. Dilarang memotret atau merekam pertunjukan dengan menggunakan alat apapun. Rekan-rekan wartawan dapat meminta dokumentasi pertunjukan pada panitia

PERTUNJUKAN KOLEKTIF

Ide dasar dari proyek ini merupakan inisiasi dari Yennu Ariendra dan Asa Rahmana yang berada di bawah payung Teater Garasi/Garasi Performance Institute Yogyakarta. Pada bulan Mei 2013, Jalan Emas work in progress #1 telah dipentaskan di Studio Teater Garasi. Dalam perkembangan selanjutnya, proyek kesenian Jalan Emas kemudian menjadi karya seniman kolektif, yang dalam proyek ini berarti sebagai sebuah karya yang disusun dari karya-karya individu oleh masing-masing seniman yang terlibat.

Untuk Jalan Emas (The Game), atau bisa disebut sebagai Jalan Emas Seri 2, seniman-seniman inti yang terlibat antara lain:

Yennu Ariendra = Director / Music Composer / Sound Designer / Performer
Asa Rahmana = Co-Director / Song Writer / Script Writer / Performer
Erson Padapiran = Music Composer / Performer
Irene Agrivine = Art Director / Performer
M. N. Qomaruddin = Choreographer / Performer
Vassia Valkanioti = Choreographer / Performer
Atinna Rizqiana = Costume Designer / Performer
Lusia Neti Cahyani = Organizer
Adi Wisanggeni = Technical Director

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi: Lusi +62 818 3929 8113
atau dapat diakses melalui:
www.jalanemas.tumblr.com
www.teatergarasi.org
facebook: Teater Garasi dan Teater Garasi/Garasi Performance Institute
facebook: Belkastrelka
twitter: @teatergarasi

PETA MENUJU LOKASI

imagebam.com

LIVE AT TEATER GARASI: “Requestioning Cult” | 3 Mei 2014 | 20.00

Setelah pekan lalu ‘Live at Teater Garasi’ menjadi salah satu nominasi dari 5 finalis The British Council Live Music Award atas inisiatif kreatif dalam bidang Live Music di Indonesia, acara ini kembali digelar.

LIVE AT TEATER GARASI: “Requestioning Cult”
menampilkan
BAREFOOD (Jakarta) – FSTVLST (Jogjakarta) – WHISTLERPOST (Jakarta)

Sabtu, 3 Mei 2014 pukul 20:00
di Teater Garasi
Jl. Bugisan Selatan 36A Jogjakarta
HTM 30K (earlybird 20k)
Reservasi: 0877 1991 1200 atau 0857 4753 2000 (tempat terbatas)

 

BAREFOOD

Momen perkenalan dengan Barefood adalah ketika saya masih bekerja sebagai seorang editor di sebuah majalah musik skala nasional. Tahun 2010 saat itu saya dan beberapa rekan membuat sebuah project bulanan yaitu kompilasi yang akan dijadikan sebagai bonus majalah. Kami mencari band-band bawah tanah arus liar lintas genre untuk menghiasi kompilasi tersebut. Saat itu dipertengahan tahun kami sedang merampungkan edisi keempat, tetiba perhatian saya tertuju pada sebuah web jejaring sosial khusus musik milik sebuah band asal timur Jakarta ini. Saya begitu terkesan dengan sebuah track demo live berjudul “Breath” mendengarkannya seperti mencium darah segar indie rock bergaya 90-an.

Tiga tahun telah berlalu Barefood kini telah menancapkan tajinya lewat mini albumnya, Sullen EP. Nafas era “Alternative” 90-an yang kental, injeksi fuzz distorsi sana-sini, penambahan formula gaya power pop macam The Posies ataupun Teenage Fanclub era awal, hibrida gaya slebor J. Mascis dengan estetika sentimentil a la Evan Dando membuat E.P ini begitu menarik. Lewat sleeve cover yang mengingatkan saya akan Nick Drake album Bryter Layter ini, telah tersaji lima track yang sempurna dan saya rasa sangat cukup untuk mewakili gejolak 90’s indie rock revival saat ini. Rilisnya Sullen telah membuat Tuhan Rock tersenyum dan Barefood telah bersiap untuk menendang pantat kalian!

(Alvin Yunata, sang pendawai gitar Teenage Death Star)
FSTVLST

Mengenal dua personil FSTVLST Faridstevy dan Roby tidak hanya dari musiknya, namun inisiatif mereka di seni rupa sepertinya menguatkan persepsi kita terhadap band ini. Juga ketika beberapa kali melihat konser mereka ketika bernama Jenny. Sepenggal pernyataan yang saya kutip dari Farid “kami sebenarnya kalau di bilang rock juga bukan rock banget, kalau dibilang alternative, juga kayaknya tidak begitu nyambung, jadi untuk menjaga nama baik genre atau aliran yang sudah ada, kami membuat terobosan baru dengan menamai aliran kami sendiri, yaitu “almost rock balery art”, atau dalam arti simpelnya, “seperti rock hampir seni”. Karena mungkin seni itu tidak bisa dipisahkan dengan kami yang berlatar belakang dari dunia seni itu sendiri”.
Ketiga pengalaman di atas seolah mengafirmasi persepsi saya terhadap FSTVLST. Saya lebih
suka mendefinisikan musik mereka di antara rock, garage, dan terkadang folk, yang menurutku tidak begitu salah ketika ditabrakkan dengan pernyataan Farid tentang FSTVLT.
Tapi bukan hanya itu yang kerap muncul ketika berbicara ttg FSTVLT, bukan juga kerja penulisan dalam lirik yang berusaha menegosiasi kenyataan yang gamblang, batas koridor musikalitas, serta laku kesenian (artistry). FSTVLST adalah pintu masuk utama ketika kita membahas ‘cult’. Di skena musik Yogyakarta (yang berbeda dengan Jakarta), persinggungan mereka tidak hanya pada penonton setia namun ‘space based cult’ yang di Jakarta representasi pada ‘Parc’ era 2000’an awal-pertengahan, namun dikotomi Utara-Selatan Yogyakarta dimana FSTVLST kontributif menghilangkan space based cult yang baru tersadar pernah ada ketika saya mengobrol dengan Farid pada sebuah sore di Jogja (tanpa menyebut lagi Jogja bagian mana)

(Risky Summerbee, frontman Risky Summerbee & the Honeythief)
WHISTLERPOST

Term musik Shoegaze selama ini lekat kaitannya dengan perasaan kesepian, keterasingan dan juga kegelapan. Namun band asal Jakarta, Whistler Post membawa term musik Shoegaze pada tingkatan yang lain. Dengan menggabungkan distorsi gitar yang menumpuk dengan alunan vokal wanita yang terdengar lugu dan menggemaskan. Musik Whistler Post yang memiliki intensitas gitar memang kerap diberi label Shoegaze oleh banyak kalangan. Namun mereka meramunya dengan nafas Britpop yang elegan dan kenaifan ala musik indiepop yang dibungkus oleh lirik-lirik lagu yang ringan yang menceritakan mengenaikeseharian.
Whistler Post dibentuk oleh gitaris Andi ‘Hans’ Sabarudin di tahun 2008 karena lagu-lagu yang ia ciptakan untuk C’mon Lennon dan Blossom Diary (dua band Hans sebelum ini) banyak yang tidak terpakai.
Dengan pengaruh dari band-band Inggris era 90an seperti Lush, Ride dan Chapterhouse, Hans lalu mengajak Tania Ranidhianti untuk mengisi vokal. Lalu Hans mengajak ketiga rekan lainnya, Cassandra sebagai gitaris, Adi Sus sebagai bassist dan Haris Prasetyo sebagai drummer. Dua nama terakhir sebelumnya tergabung dengan band Jepit Rambut dan Noisy Trip.
Lagu “Sebastian Says” menjadi lagu pertama yang mereka rekam di bawah nama Whistler Post. Lagu ini beredar di publik sebagai bonus CD untuk penjualan merchandise Whistler Post yang dirilis oleh Don’t Fade Away (DFA) Records yang kini merilis debut album Whistler Post di bulan September 2013. Album debut self titled ini berisi 8 track yang direkam di tiga studio berbeda dalam kurun waktu 5 tahun. Lagu ‘Sing Me Loud” dipilih menjadi single pertama dari album ini.
“Lagu “Sing Me Loud” lahir saat saya sedang menggemari band asal Jepang namanya Luminous Orange. Pada kelanjutannya, musik Whistler Post terinspirasi dari musik mereka. Salah satunya dengan terciptanya “Sing Me Loud” ini yang menggambarkan musik dari Whistler Post saat ini yang sebenernya yang tidak sepenuhnya memainkan jenis musik shoegaze,” tukas Hans.
Lagu lain dalam album ini yang tidak sepenuhnya memiliki elemen shoegaze dapat disimak pada lagu “When The Night Comes” yang terdengar cerah dengan alunan vokal latar bersahutan dan juga pada track pembuka album “Better Days” yang diciptakan gitaris Cassandra yang menampilkan paduan vokal wanita dan pria yang manis.
Album ini mencapai puncaknya di lagu “Till The End” yang memiliki durasi paling lama dibandingkan lagu lain dalam album. Paruh akhir lagu ini dipenuhi oleh melodi gitar dari Hans yang disusupi oleh gemuruh musikal dari band Chapterhouse.
Pada akhirnya Whitler Post melalui album debut mereka ini sukses dalam menyajikan musik berbasis gitar yang terdengar indah dengan sensibilitas pop yang kuat.

(Dimas Ario, pengamat musik)

‘Live at Teater Garasi’ Finalis Live Music Award The British Council

Seniman Teater Garasi, Risky Summerbee dan inisiatifnya dalam menggelar acara musik periodik ‘Live at Teater Garasi’ terpilih sebagai finalis Live Music Award sebagai bagian dari Young Creative Entrepreneur Initiative dari The British Council. Selain Risky Summerbee, para pegiat musik finalis Live Music Award yang diadakan The British Council 14-15 April di Jakarta adalah Robin Malau dari ‘Musikator’ (Jakarta), Dian Maya Puspita dari ‘Geeksbible’ (Jakarta), Hardiansyah PS ‘Chamber Celebes’ (Makassar) serta Satria Ramadan ‘SRM Band Management’ (Jakarta).

Sebagai upaya untuk mempromosikan nilai skena musik Indonesia, acara musik periodik ‘Live at Teater Garasi’ saat ini sudah berjalan di tahun kelima. Dimulai sejak tahun 2009, Live at Teater Garasi bermula saat kelompok Risky Summerbee & the Honeythief menggelar konsernya di Teater Garasi dengan tata artistik dan set yang unik hasil kolaborasi tata artistik para seniman Teater Garasi.

Dalam perkembangannya, Live at Teater Garasi yang digagas oleh Risky Summerbee bersama Teater Garasi melakukan kuratorial musik, mengundang musisi atau kelompok musik pilihan untuk menggelar karya di ruang Teater Garasi yang spesifik, mewujudkan pertunjukan musik dengan set artistik yang selalu berubah pada setiap pementasan.
Interaksi yang intim antara musisi dan penonton menjadi ciri khas ajang musik ini. Ruang Teater Garasi yang berkapasitas 300 penonton menjadi tantangan Teater Garasi maupun band yang tampil untuk menyesuaikan konsep pemanggungan mereka dengan ruang yang terbatas namun membuka berbagai kemungkinan.

Tak jarang dalam setiap pergelaran berlangsung pula transfer pengetahuan dari penampil kepada penonton, berupa obrolan atau diskusi santai yang menyegarkan wacana pertunjukan musik, hal yang tidak ditemukan pada acara acara musik lainnya – hal ini justru membedakan ‘Live at Teater Garasi’ dengan acara musik yang lain. Konsep ‘site specific’ dan ruang interaksi inilah yang membuat acara ‘Live at Teater Garasi’ inovatif dan berbeda. Selain menjadi peristiwa budaya ‘Live at Teater Garasi’ diharapkan juga menjadi peristiwa ekonomi dengan digelarnya lapak CD album serta merchandise dari band-band di skena musik Indonesia serta minuman dan makanan ringan dari entitas lain di Jogja. Mulai tahun 2012 Live at Teater Garasi juga didukung oleh studio Pintu Kecil Lab yang merekam audio dan visual pentas-pentas mereka, alhasil memiliki hasil rekaman live yang unik.

Sejak tahun 2009 beberapa nama yang pernah tampil dalam kapasitasnya sebagai kelompok maupun featuring antara lain Risky Summerbee & the Hoeythief, Belkastrelka, Brilliant at Breakfast, Tomi Simatupang, Frau, Kartika Jahja, Sarita Fraya, Stars and Rabbit, Dialog Dini Hari, White Shoes & the Couples Company, Adhitia Sofyan, Adrian Adioetomo, Wangi Hujan, Endah & Rhesa. ‘Live at Teater Garasi’ juga pernah menghadirkan musisi dari luar Indonesia seperti Ned Branchi (Australia) dan Ken Stringfellow (USA).

Live at Teater Garasi akan digelar kembali 3 Mei mendatang dengan tajuk kuratorial ‘Requestioning Cult’ (Mempertanyakan ulang ‘cult’) dengan menghadirkan tiga band Whistler Post (Jakarta), Barefood (Jakarta), FSTVLST (Jogjakarta).