Seniman Kolaborator Gong ex Machina

Yasuhiro Morinaga; seniman kolaborator pertunjukan Gong Ex Machina yang akan digelar pada tanggal 29 dan 30 November 2018 di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).

Komposer musik, seniman dan etnografer bunyi (sound artist and sonic ethnographer) lulusan universitas Tokyo, Jepang, telah berkolaborasi dengan seniman-seniman ternama Asia di berbagai proyek seni lintas disiplin, seperti musik, film, seni pertunjukan, dan seni instalasi media baru (new media). Karya ilustrasi musik untuk filmnya telah dipresentasikan di beberapa festival film besar seperti Venice Biennale, Venice International Film Festival dan Cannes. Di Indonesia, music scoring untuk film yang ia buat bisa didengar di film Sekala Niskala (Seen and Unseen) besutan Kamila Andini.

Pria yang biasa dipanggil Yasu ini, telah melakukan berbagai penelitian lapangan untuk menjelajahi dan mendokumentasikan musik etnis, ritual adat, dan komunikasi dalam budaya musik yang berbeda-beda. Dari hasil penelitian tersebut ia menciptakan berbagai karya musik, film, dan publikasi.

Berkolaborasi dengan Yudi Ahmad Tajudin, Gong ex Machina, adalah salah satu karya yang akan bertolak dari refleksi penelitian yang ia lakukan mengenai kebudayaan/tradisi musik gong yang hidup dibanyak daerah di Asia Tenggara.

Saksikan Gong ex Machina, karya kolaborasi lintas disiplin yang terinspirasi dari hasil penelitian Yasuhiro Morinaga ini di Gedung Kesenian Jakarta pada 29 dan 30 November 2018.

Gong ex Machina adalah produksi bersama Teater Garasi/Garasi Performance Institute dan The Kingdom of Archipelago.

Tiket pre-sale pertunjukan sudah bisa diperoleh di http://bit.ly/GongExMachina

Informasi lebih jauh seputar penjualan tiket dan pertunjukan Gong ex Machina, dapat menghubungi: Mayasti +62 8222–1100–275.

Informasi Pemesanan Tiket Pertunjukan Gong ex Machina

Tiket pertunjukan GONG EX MACHINA dengan harga PRE-SALE dalam jumlah terbatas sudah bisa dipesan melalui http://bit.ly/GongExMachina, mulai tanggal 26 Oktober 2018 sampai 7 November 2018.

Harga tiket GONG EX MACHINA untuk PRE-SALE:
Class 1 Rp200.000
Class 2 Rp100.000

GONG EX MACHINA adalah pertunjukan teater bunyi (sonic theater), karya kolaborasi Yasuhiro Morinaga (sound artist) dan Yudi Ahmad Tajudin (sutradara teater), serta Tetsushi Hirai (penata suara) dan seniman-seniman lintas disiplin dari Indonesia: Mian Tiara, Gunawan Maryanto, Cahwati Sugiarto, Dwi Windarti, Wulang Sunu, Ignatius Sugiarto, MN Qomaruddin, dan Arsita Iswardhani.

Produksi bersama Teater Garasi/Garasi Performance Institute dan The Kingdom of Archipelago.

Informasi lebih jauh seputar penjualan tiket dan pertunjukan GONG EX MACHINA, dapat menghubungi: Mayasti +62 8222–1100–275.

KINEKLASSIK #4 : Distorted Images


Seri terakhir dari film-film klasik dunia, KINEKLASSIK #4: Distorted Images, adalah semacam kesimpulan dari seri-seri Kineklassik sebelumnya: penghargaan untuk Stanley Kubrick, melihat aspek-aspek realisme, dan menangkap narasi-narasi yang berbeda.

Di seri terakhir ini, akan memutarkan film-film klasik dengan sudut pandang yang sedikit terdistorsi. Film klasik bisa dibatasi oleh style, genre, tema (barat, detektif, drama, horror, dll.), tapi beberapa sutradara yang baik, bisa menemukan cara untuk mengubah paradigma, membawa penonton ke dimensi tak terduga lainnya dari sebuah film. KINEKLASSIK #4 akan memutar mahakarya dari 4 sutradara terkenal dan akan memberikan asupan otak yang menyenangkan.

Dengan Vertigo, oleh Alfred Hitchcock (1958), akan didapati sebuah thriller psikologis dan sebuah kisah tentang penghancuran maskulinitas, tentang ketakutan dan obsesi. Ini adalah film komersial Hollywood dengan twist yang telah mengilhami begitu banyak sutradara film (De Palma, Lynch, Marker, dll.).

Dalam genre film koboi Hollywood Johnny Guitar – Nicholas Ray (1954) datang seperti objek yang tak dikenal (Truffaut menyebutnya “seorang koboi yang palsu”), satu-satunya feminis barat, film yang indah dan ambigu ini pantas untuk (kembali) ditonton dengan seksama dalam konteks hari ini.

Kisah kejahatan kelam dari Akira Kurosawa, High and Low (Tengoku to Jigoku), 1963, dianggap sebagai salah satu karya terkuat Akira. Film ini diadaptasi dari sebuah novel Amerika, dengan struktur cerita yang kuat seperti Shakespeare, penyapuan simbolis dan historical. Alurnya membuat cerita berkembang secara organik dalam pikiran.

Blue Velvet karya David Lynch (1986) sebagai film terbaru dari keseluruhan seri ini adalah cara untuk mencari penyegaran dalam melihat sejarah film-film Hollywood. Melalui misteri dan kisah horor fisiologis yang aneh dan mengganggu ini, Lynch memberikan penghargaan kepada Hitchcock dengan cara khasnya melalui simbol, suara, dan penglihatan yang terdistorsi. Sisi gelap Hollywood.

Teater Garasi x SIMAMAT akan menutup seri ini dengan pemutaran penuh Histoire(s) du cinema dari Jean-Luc Godard (1980-1988), proyek video 8-episode dari 266 menit, dan salah satu film Godard yang paling kompleks, film-film ini menghadirkan pelacakan sejarah konsep sinema dan bagaimana kaitannya dengan abad ke-20. Ini merupakan kritik dari abad ke-20 dan bagaimana ia memandang dirinya sendiri melalui sinema. Karya ini dianggap sebagai karya yang paling penting dari periode akhir karir Godard. Karya ini akan diputar dengan kebebasan pada penonton untuk menontonnya secara integral atau sebagai instalasi video.

KINEKLASSIK #4
Teater Garasi x SIMAMAT

DISTORTED IMAGES
Kurator: Jean Pascal Elbaz

Kamis – Sabtu, 25–27 Oktober 2018
16.00 WIB – selesai
Studio Teater Garasi, Jl. Jomegatan No.164B, Yogyakarta

Kamis, 25 Oktober 2018
– Johnny Guitar, Nicholas Ray (1954, 110 min)
– Vertigo, Alfred Hitchcock (1958, 128 min)

Jumat, 26 Oktober 2018
– High and Low, Akira Kurosawa (1963, 143 min)
– Blue Velvet, David Lynch (1986, 120 min)

Sabtu, 27 Oktober 2018
– Histoire(s) du cinéma, Jean-Luc Godard (1980-1988, 266 min)

KINEKLASSIK

Pemilihan dari film-film yang akan diputar dalam KINEKLASSIK, tidak bermaksud untuk menelusuri secara teoritis sejarah sinema melalui karya utamanya, tetapi untuk menemukan atau (kembali) menemukan film-film yang penting dan terkadang diabaikan yang terus berdampak pada penonton saat ini dan merupakan karya referensi dalam dalam dirinya maupun dalam genre-nya.

Program KINEKLASSIK mengambil tema “Revisiting the Classics: Perjalanan melalui karya-karya sinema masterpiece dan film lainnya yang terabaikan” yang diselenggarakan dalam empat seri: Kubrick’s World, Different Faces of Realism in Cinema, All About Naration, dan Scorcese’s Universe.

KINEKLASSIK adalah bagian dari program Klub Tonton dan Periksa (KTP) Teater Garasi, yang bekerja sama dengan Jean-Pascal Elbaz sebagai kurator film dan SIMAMAT sebagai rekan diskusi dan pelaksanaan pemutaran film.

Gong ex Machina; A Sonic Theater Performance


Sebuah pertunjukan karya kolaborasi Yasuhiro Morinaga (seniman bunyi dan komposer musik, Jepang) dan Yudi Ahmad Tajudin (sutradara teater kontemporer, Indonesia).

Pertunjukan ini disebut ‘teater-bunyi’ karena di dalam karya ini bunyi adalah yang utama, bukan ilustrasi. Peristiwa teater (gerak, imaji, narasi, emosi dan mungkin: makna) dalam pertunjukan ini diciptakan berdasarkan komposisi bunyi, bukan naskah lakon, dan juga menekankan kehadiran serta makna dari (komposisi) bunyi tersebut.

Dengan kerangka estetika seperti itu, pertunjukan ini juga akan dipentaskan dengan sistem tata suara 3D-immersive: sistem tata suara yang menempatkan keluaran (output) suara di seluruh ruangan teater (bukan hanya di panggung) sehingga kehadiran suara akan datang dari banyak arah, dari seluruh penjuru. Suara akan terdengar menyeluruh dan memenuhi ruangan di mana penonton berada. Sistem tata suara pertunjukan Gong ex Machina dirancang oleh penata suara kenamaan dari Jepang, Tetsushi Hirai.

Judul “Gong ex Machina” disusun dengan kesadaran bermain-main dengan istilah teknis dalam konvensi pentas teater Yunani Tua pada sekitar abad 5 SM, Deus ex Machina, yang artinya kurang lebih: Dewa di dalam/melalui mesin. Istilah ini menunjuk pada teknik menghadirkan aktor yang berperan sebagai dewa ke atas panggung tragedi Yunani baik melalui alat seperti derek (crane), dari atas ke bawah, atau muncul dari bawah panggung melalui semacam pintu khusus (trap door) di lantai panggung. Perpaduan dan permainan kata dalam judul Gong ex Machina, kemudian bisa diterjemahkan menjadi: Gong yang berada di dalam atau hadir melalui mesin.

Secara tematik “Gong ex Machina” bertolak dari refleksi atas hasil penelitian Yasuhiro Morinaga yang luas dan mendalam terhadap kebudayaan Gong di negara-negara Asia Tenggara. Salah satu temuan utama dari penelitian itu adalah bagaimana musik/bunyi dan instrumen Gong berfungsi sebagai medium komunikasi dengan entitas supra-natural (leluhur, dewa, tuhan), atau bahkan menjadi perwujudan entitas tersebut, di dalam ritual yang dilakukan di banyak kebudayaan di Asia Tenggara. Dewa di dalam/melalui gong.

Pertunjukan teater bunyi (sonic theater performance), karya kolaborasi Yasuhiro Morinaga dan Yudi Ahmad Tajudin, serta penata suara ternama dari Jepang dan seniman-seniman lintas disiplin lain dari Indonesia, Gong ex Machina, akan dipentaskan pada tanggal 29 – 30 November, 2018.

Produksi bersama Teater Garasi/Garasi Performance Institute dan The Kingdom of Archipelago.

Untuk informasi lebih jauh, nantikan kabar dari Teater Garasi selanjutnya.

Pentas AntarRagam 2018 Seri II: Festival Nubun Tawa


Nubun Tawa Festival Seni dan Budaya Flores Timur resmi dibuka Jumat, 5 Oktober 2018, dengan ditandai penyalaan obor oleh Bupati Flores Timur kepada 7 Kepala Desa.

Rangkaian pentas seni tradisi dan pertunjukan budaya Lewolema, di desa Bantala, membuka Festival Nubun Tawa, festival seni budaya berbasis masyarakat Flores Timur. Selepas terang festival bergerak ke bukit Eta Kenere, menggelar serangkaian pentas dari Darlene Litaay (Papua), Iwan Dadijono (Yogyakarta), Kung Opa (Larantuka) dan Veronika Ratumakin (Adonara), dan diakhiri dengan tari pergaulan “Dolo-dolo” dari warga desa Bantala.



Festival Nubun Tawa merupakan bagian dari program AntarRagam (Performing Differences). Bekerja sama pemerintah daerah,mitra Teater Garasi di kota Larantuka merespon dan menyegarkan Festival Seni dan Budaya Flores Timur yang telah menjadi agenda tahunan Dinas Pariwisata Flores Timur selama ini. Festival Nubun Tawa diselenggarakan di Kecamatan Lewolema, dirancang bersama-sama antara komunitas anak muda, masyarakat desa, dan pemerintah daerah Flores Timur, sebagai upaya untuk menghidupkan dan menjaga budaya sebagai perekat keberagaman di bumi Lamaholot. Keterlibatan komunitas/masyakarakat di 7 desa di Kecamatan Lewolema menjadi salah satu upaya untuk mengembangkan Festival Seni dan Budaya Flores Timur menjadi festival berbasis masyarakat/komunitas.

Agenda festival Sabtu, 6 Oktober 2018: Pameran Tattoo Tradisional Budaya Lewolema, Teater Basa Tupa di Desa Riangkotek, Diskusi Budaya Lamaholot (Lewolema) di Desa Riangkotek, karnaval budaya, upacara Lodo Ana, musik akustik Rumbu Rampe & Ivan Nestoman, monolog oleh Ruth Marini saat matahari tenggelam di pinggir Pantai Kawaliwu.

Festival Nubun Tawa berlangsung hingga 7 Oktober 2018 dengan berbagai macam seni tradisi dan upacara adat Lamaholot, serta pertunjukan-pertunjukan seni lainnya.



__

Nubun Tawa Festival Seni dan Budaya Flores Timur telah usai setelah berlangsung dengan meriah selama 3 hari dari tanggal 5 hingga 7 Oktober 2018, di 7 desa di Kecamatan Lewolema, Flores Timur.

Ucapan terima kasih atas undangan dan kepercayaan pada Teater Garasi untuk ikut merancang serta mewujudkan festival seni dan budaya berbasis masyarakat ini, ingin Teater Garasi haturkan kepada: Bapak Bupati dan Wakil Bupati, Kepala Dinas Pariwisata dan seluruh jajarannya, serta seorang aktivis seni dan budaya di Flores Timur yang tangguh, saudara Silvester Hurit. Juga pada rekan Frano Tukan yang membantu mempertemukan kami dengan pemerintah daerah Flores Timur.

Teater Garasi juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Selvi, Mance, Ipung dan rekan-rekan komunitas Cisil Ina Galekat (CIG-Larantuka) yang lain, yang dengan penuh semangat ikut mendukung kerja persiapan dan pelaksanaan Festival Nubun Tawa.

Apresiasi setingginya juga ingin Teater Garasi haturkan kepada segenap warga desa Bantala, Riangkotek, Kawaliwu, Balukhering dan Ile Padung yang dengan antusias menyambut kerangka festival yang mendasarkan diri pada keterlibatan mereka, warga-masyarakat, dan bergotong royong dengan swadaya dalam menyiapkan dan melaksanakan acara-acara festival yang berlangsung di desa mereka. Teater Garasi belajar banyak perihal kekuatan keragaman seni budaya dalam menghadapi dan membangun dialog dengan perubahan-perubahan dunia.

Terima kasih, dan selamat. Pai Taan Tou!